Senin, 25 Juli 2011

Kerusakan Hutan Kalimantan Rugikan Negara 241 Triliun

Kebijakan otonomi daerah sudah berlangsung selama sepuluh tahun. Pemerintah daerah mendapat kewenangan yang lebih luas mengelola sumber daya alam yang dimilikinya.
Hanya saja tidak semua Peme­rintah Daerah mampu mengelola sumber daya alam dengan baik.
Misalnya, dalam pengelolaan hutan. Berdasarkan kajian Ke­men­terian Kehutanan (Kemen­hut) kerusakan di empat provinsi di Kalimantan diperkirakan men­capai Rp 241 triliun.
“Itu merupakan data hasil per­hitungan yang kami terima dari pada Gubernur, dan data yang ka­mi minta secara langsung kepada Bupati-bupati. Data ini me­ru­pakan data kerusakan ling­kungan komulatif selama oto­nomi dae­rah. Sebab, ternyata dae­rah yang seharusnya mengelola, malah ng­gak melakukannya,” kata Direk­tur Jenderal Perlin­du­ngan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Kemenhut, Da­rori ke­pada Rakyat Merdeka di Kan­tornya, Jakarta, pekan lalu.
Darori mengungkapkan, saat ini memang telah terjadi perge­se­ran modus perusakan hutan. Bi­la sebelumnya yang marak kasus penebangan liar, maka saat ini kasus yang marak adalah kasus pembukaan hutan dan penam­bang­an liar (illegal mining). Sedi­kitnya ada sekitar 2.000 kasus pem­bukaan hutan dan penam­bang­an liar (illegal mining) yang terjadi di Indonesia. “Yang paling banyak terjadi itu di Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kali­mantan Barat, dan Kalimantan Selatan,” ujarnya.
Darori menjelaskan, berda­sarkan data yang Kemenhut mi­liki, perusakan hutan yang terjadi di wilayah Kalimantan Tengah men­capai lebih dari 7,5 juta hek­tar.
Rinciannya, kasus penge­rusa­kan perkebunan sekitar 282 kasus dengan luas lebih dari 3,3 juta hektar, dan kasus kerusakan aki­bat pertambangan liar mencapai 629 kasus dengan luas lebih dari 3,5 juta hektar. “Kemenhut mem­perkirakan kerugian akibat ma­salah ini adalah sekitar Rp 158,5 triliun,” tuturnya.
Pada provinsi Kalimantan Ti­mur, Kemenhut mencatat keru­sakan wilayah hutan hingga 1,4 juta hektar. Untuk areal perke­bu­nan mencapai lebih 86 kasus dari 720 ribu hektar. Kemudian wila­yah yang rusak akibat dijadikan daerah pertambangan ada 223 kasus dengan wilayah kerusakan mencapai 774 ribu hektar. Total perkiraan kerugian negara men­capai Rp 31,5 triliun.
Di Kalimantan Barat, kerusa­kan yang terjadi mencapai 2,2 juta hektar, dengan luas wilayah yang rusak akibat digunakan un­tuk daerah perkebunan mencapai lebih dari 2,1 juta hektar akibat 169 kasus perusakan. Untuk per­tambangan Kemenhut mencatat ada 384 kasus, dengan daerah yang rusak mencapai 3,6 juta hektar, dengan total kerugian ne­gara mencapai Rp 47,5 triliun.
Kerusakan pada provinsi Kali­mantan Selatan lebih dari 215 ribu hektar,  20 kasus pembukaan untuk perkebunan dengan wila­yah yang rusak lebih dari 76 ribu hektar. 101 kasus pertambangan merusakkan  138 ribu hektar. Total kerugiannya mencapai sekitar Rp 3,5 triliun.
Darori menyakini, kerusakan empat provinsi di Kalimantan itu lebih besar daripada di daerah lain. “Kunci paling besar Kali­man­tan. Sumatera sudah lama bangun perkebunan, jadi sudah sedikit wilayah yang ada. Se­mentara untuk Indonesia bagian ti­mur banyaknya digunakan un­tuk pertambangan,” tuturnya.
Saat ini pun Kemenhut sudah membentuk tim, dan melakukan koordinasi dengan kepolisian, kejaksaan, Komisi Pem­beran­tasan Korupsi (KPK), Satgas Anti Mafia Hukum, dan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH).

Tim tersebut bersama dengan Kemenhut turun ke lapangan untuk mengatasi masa­lah penge­rusakan hutan secara langsung. Tujuannya untuk mem­percepat penanggulangan masa­lah penge­rusakan hutan. Ren­cananya tang­gal 26 Juli men­da­tang tim akan ke Sulawesi Teng­gara untuk me­lakukan pe­nin­jauan.
“Jadi nanti kalau masalah ling­kungannya kita serahkan ke KLH, kalau masalah korupsinya kita serahkan kepada KPK. Se­jauh ini sudah ada 6 bupati yang kita serahkan kepada KPK,” tutur­nya.
Aktor Intelektual Tidak Pernah Tertangkap
M Ali Yacob, Anggota Komisi IV
Pemerintah perlu segera me­la­kukan evaluasi terkait besarnya dampak kerusakan wilayah hutan di setiap provinsi.
Salah satunya dengan meng­aktifkan peran tim yang dibentuk Kemenhut bersama beberapa ins­tansi terkait untuk melakukan pe­ninjauan terhadap kebijakan dari pemerintah provinsi. “Mungkin diperlukan adanya kesepakatan ber­sama antara tim dengan pe­merintah setempat, guna me­nang­gulangi masalah kerusakan hutan ini. Setahu saya, di Aceh cara ini cukup berhasil. Pemerin­tah Aceh sudah membuat peratu­ran untuk mengatasinya, dan telah dijalankan dengan baik,” kata anggota Komisi IV DPR, M Ali Yacob, kemarin.
Anggota Fraksi Demokrat ini menilai, selama ini penanganan masalah kerusakan hutan me­mang masih banyak kekurangan.
Menurutnya,penyebab utama terjadinya kerusakan wilayah hu­tan antara lain masalah lemah­nya pengawasan.
Diakuinya, sejauh ini peme­rin­tah belum bisa melakukan penga­wasan secara menyeluruh terha­dap areal hutan. Pemerintah ha­nya bisa mengawasi bagian ping­gir hutan saja. Itu pun tidak ter­cover semua. Karena luasnya wi­la­yah hutan. “Waktu kami ke Aceh, dan melakukan peman­tau­an melalui helikopter yang ada, kami melihat daerah pinggiran hutan itu cukup bagus. Tapi saat kami melihat kebagian dalamnya, ternyata sudah banyak yang ru­sak,” ujarnya.
Selain itu, masalah tidak per­nah tertangkapnya para aktor in­telektual dari kejahatan tersebut. “Sayangnya sampai saat ini yang ditangkap baru para pelaku dilapangannya saja. Orang-orang yang bertanggungjawab lannya, yang bersembunyi di luar negeri, seperti di Singapura tidak pernah tertangkap. Akibatnya, tidak ada efek jera,” sesalnya.
Anggota DPR dari daerah pe­milihan Aceh Darussalam I ini me­nilai, kunci untuk menyele­sai­kan masalah perusakan hutan bisa dengan cara meningkatkan ke­sejahteraan masyarakat yang ber­kerja disekitar wilayah tersebut.
Alasannya, dengan mening­kat­nya kesejahteraan masyarakat, maka tidak ada lagi warga yang akan memanfaatkan daerah ter­sebut untuk kepentingan siapa­pun.
Tak hanya itu, dengan mening­katkan kesejahteraan warga di daerah sekitar, maka warga akan membantu melakukan penga­wa­san terhadap wilayah sekitar hu­tan. “Dalam kunjungan kerja ka­mi melihat ada kasus di mana war­ga sekitar sendiri yang me­nang­kap para pelaku perusakan. Kalau ini bisa dilakukan penja­gaan terhadap wilayah hutan men­jadi lebih maksimal. Tapi ini juga tergantung dari law infor­cement dari pemerintah juga,” pungkasnya.
Kemenhut Lebih Ahli
Boy Rafli Amar, Kabagpenum Mabes Polri
Kepolisian sudah berkomit­men untuk menindak tegas siapa saja yang melakukan penam­ba­ngan secara ilegal di kawasan hu­tan yang mengakibatkan peru­sakan lingkungan hutan. “Kalau melanggaran Undang-undang, kepolisian akan memprosesnya secara hukum,” kata Kepala Ba­gian Penerangan Umum (Kabag­penum) Mabes Polri, Boy Rafli Amar, kemarin.
Menurutnya, tidak semua hu­tan yang rusak dilakukan dengan cara ilegal, karena sesuai Un­dang-undang pemanfaatan hutan dapat digunakan untuk penam­bangan.
“Kita lihat dulu kategorinya, ka­rena tidak semua penam­bang­an itu illegal, dan hutan yang ru­sak tidak selalu dilakukan secara ilegal, semua ada ketentuannya. Bisa jadi ada eksploitasi penam­bangan dan alih fungsi hutan yang tentunya harus ada izin dari instansi terkait seperti Ke­men­terian Kehutanan,” pin-tanya.
Dijelaskan, Polri tidak sendiri dalam menindak para pelaku penjarahan dan perusak hutan, apalagi penambangan illegal yang sudah jelas-jelas meru­gi­kan lingkungan dan negara. Da­lam mengidentifikasi kejahatan hutan, polisi selalu bekerjasama dengan Kementerian Kehu­tanan.
“Supaya penanganannya lebih jelas, kepolisian selalu ber­tindak sesuai dengan peraturan dan data-data akurat serta ber­koordinasi dengan Kementerian Kehutanan (Kemenhut). Kami juga selalu berkonsultasi dengan Kemenhut, karena mereka yang lebih ahli,” tuturnya.
Negara Rugi Dua Kali Lipat
Dedy Ratih, Manager Kampanye dan Advokasi WALHI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar