Sabtu, 02 Juli 2011

Dana CSR Antam Salah Sasaran


Kendari, Ekspres - Anggota Komisi VIII DPRRI, M Oheo Sinapoy MBA menilai pemanfaatan dana Corporate Social Responsibility (CSR) PT Antam Tbk, khususnya pada Unit Bisnis Pertambangan (UBP) Nikel Pomalaa, banyak yang tidak tepat sasaran, atau tidak sesuai dengan semangat dan tujuan CSR.

Bukan saja itu, pemanfaatan dana CSR baik itu Community Development (Comdev) maupun Program Kemitraan Bina Lingkungan (PKBL), terjadi penyimpangan dalam prosedur pengunaannya.

Oheo memaparkan masalah ini, usai melakukan kunjungan kerja di Unit Bisnis Pertambangan (UBP) Nikel Pomalaa, Jumat (6/5) lalu. Dalam kunjungan itu dia menemukan data baik dari pihak perusahaan maupun masyarakat terkait terkait penyimpangan pengelolaan dana CSR.


Menurut Oheo, terjadinya pemanfaatan dana CSR Antam yang tidak tepat sasaran itu, akibat intervensi pemerintah baik itu provinsi maupun kabupaten yang terlalu berlebihan.  "Saya banyak menemukan data pemanfaatan dana CSR yang tidak sepantasnya. Ini bukan kesalahan Antam, tapi kesalahan pemerintah daerah yang terlalu memaksakan kehendaknya," kata Oheo kepada wartawan sesaat akan bertolak ke Jakarta, Sabtu (7/5).

Dia mencontohkan, pemanfaatan dana CSR Antam untuk pembangunan bandara Sangia Nibandera, yang jumlahnya sudah mencapai sekitar Rp 12 miliar, penggunaan dana Antam dalam program bedah kecamatan, dan bantuan CSR Antam kepada Pemprov Sultra yang nilainya sudah mencapai Rp 138 miliar selama tiga tahun.

Menurut Oheo, sesuai Pasal 74 Undang-Undang Perseroan Terbatas (UUPT) No. 40 tahun 2007, dana CSR harusnya diserahkan kepada masyarakat sasaran,  baik itu secara langsung maupun melalui organisasi masyarakat pendamping. Kalau dana CSR itu diambil alih pemerintah pengelolaannya maka akan bias, apalagi sudah diintervensi dengan kepentingan politik bupatinya.

"Bandara itu kan obyek pembangunan yang memang sudah ada anggarannya. Jadi tidak pantas jika diambilkan lagi dari dana CSR. Saya akan melakukan pengecekan secara detail dengan Komisi yang membidangi perhubungan. Saya juga akan mengecek jangan-jangan anggaran dari Antam dalam kegiatan bedah kecamatan tidak masuk dalam APBD. Padahal seharusnya masuk APBD dulu dan dibahas di DPRD," kata Oheo.

Oheo juga menyinggung pemanfaatan anggaran CSR kepada Pemprov, bahwa hingga saat ini Pemprov belum menyampaikan pertanggungjawaban pemanfaatan dana itu seluruhnya. "Ada laporan keuangan Pemprov kepada Antam hanya selembar kertas dengan nilai Rp 70 miliar, itupun banyak kesalahan penulisan di dalamnya," katanya.

Dari hasil kunjungannya, Oheo juga memperoleh data, bahwa Pemda selalu memaksakan kehendekanya untuk mendapatkan dana CSR, dengan nada ancaman akan meninjau kembali izin yang dimiliki Antam. Dia mencotohkan, saat ini Pemkab Kolaka, sedangkan memaksakan Antam untuk membiayai pembangunan pesantren modern di salah satu kecamatan.

"Bukan kita menolak pesantren. Saya ini alumni Gontor, jadi tau fungsi pesantren, tapi kalau hanya dibangun untuk sekedar gagahan, itu juga justru membuat kesalahan," ujarnya.

Sayangnya jika dilihat posisi tempat pendiriannya, kemungkinan gedung yang akan dibangun bisa mubazir, karena berada pada daerah yang tidak ada penduduknya. Pemda juga pernah membangun sekolah madrasyah dengan sumber dana CSR Antam, tapi kemudian bangunan tersebut hingga sekarang tak dimanfaatkan.

"Jika dilihat posisi Antam saat ini, tidak lebih menjadi sapi perahan Pemda. Makanya, saya akan berusaha membantu Antam agar mengembalikan posisi pengelolaan dana CSR sesuai tujuannya," katanya.

Oheo juga mengaku prihatin dengan pemanfaatan lahan eks Antam oleh perusahaan yang diberikan izin oleh Pemkab Kolaka, karena lahan-lahan tersebut dikelola secara serampangan tanpa memperhatikan kelestarian lingkungannya.

"Lahan yang tadinya sudah menhijau kembali karena Antam sudah melakukan reklamasi, kini hancur tak beraturan. Ini semua kesalahan Pemkab yang terlalu bernafsu menjual daerahnya tanpa melakukan kontrol dan pengawasan secara ketat," katanya.

Bukan saja itu, Oheo juga mendapat laporan dari masyarakat bahwa sejumlah perusahaan yang dibekingi aparat dan Pemkab telah merusak hutan lindung, sehingga mengakibatkan sering terjadinya banjir di sejumlah desa di Kecamatan Pomalaa.

"Semua temuan saya mengenai lingkungan ini akan saya koordinasikan dengan Komisi yang membidangi Lingkungan Hidup dan Pertambangan agar segera melakukan peninjauan. Kalau dibiarkan maka lingkungan akan semakin rusak," kata Oheo yang juga Ketua DPD MKGR Provinsi Sultra. LEX (Kendari Ekpres).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar