Rabu, 17 Agustus 2011

Ladang Emas Bombana, antara Rezeki dan Petaka

Bukit-bukit tandus berjejer. Padang ilalang membentang sejauh mata memandang. Di kiri-kanan jalan berbatu terlihat aliran sungai yang keruh dengan kubangan bekas galian berukuran setengah meter. Tanah yang berada di bagian pinggir sungai Lankowaha kondisinya nyaris sama, bahkan dengan akar-akar pohon yang menyeruak akibat galian.
Tapi tak ada yang perduli, ribuan orang sibuk tetap sibuk dengan aktivitas masing-masing. Mereka membentuk kelompok kelompok kecil, terdiri dari 7 hingga 10 orang. Tenda dengan berbagai warna berjejer tak teratur, seperti perkemahan pramuka ; namun kini jadi tempat berteduh para pendulang emas yang datang dari seantero Indonesia, mewakili berbagai suku.
Sepanjang jalan menuju lokasi penambangan, tampak bersileweran pejalan kaki. Ada pula yang memakai motor dan mobil. Peralatan yang mereka bawa pun relatif sama, seperti wajan, linggis, sekop, terpal serta peralatan memasak.
Sejak ditemukannya tambang emas di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, Sungai Tahi Ite dan sungai Langkowaha serta Wumbu Bangka seolah menjadi surga baru bagi pemburu logam mulia itu. Dari tiga lokasi penemuan tambang emas itu, peredaran uang mencapai miliaran rupiah di Bombana.
Hasil yang menggiurkan itu ternyata berimplikasi terhadap sejumlah hal. Ikan dan sayur misalnya, sulit dijumpai. “Sejak penemuan emas, kami lebih sering makan mi instan karena penjual sayur dan ikan memilih beralih profesi menjadi pendulang emas dadakan,” tutur Nurdaya, warga Desa Tembe sambil tersenyum. Beberapa pembangunan gedung pemerintah yang dalam tahap penyelesaian juga ditinggalkan pekerjanya.
“Semua biaya kebutuhan hidup sangat mahal di daerah ini,” kata Rusdin, pendulang asal Sengkang, Sulawesi Selatan yang sudah tujuh bulan mendulang di lokasi ini. Di areal penambangan, harga beberapa kebutuhan pokok juga naik hingga dua kali lipat. “Harga rokok yang biasanya delapan ribu rupiah, di areal penambangan bisa sampai 16 ribu rupiah per bungkus. Begitu pun mi instan hingga mencapai harga 5 ribu rupiah.”
Lain dari itu, Sumina, wanita asal Balikpapan, Kalimantan Timur terpaksa berhenti beberapa waktu karena mengalami penyakit kulit, seperti terserang kutu air dan gatal. “Air sungai di lokasi penambangan hanya sedikit dan kotor, padahal kami mesti berendam di air selama beberapa jam untuk memisahkan pasir dan kerikil dari butiran emas,” ujarnya.
Bahkan, dilaporkan, sejak maraknya aktifitas penambangan emas di Bombana, jumlah pendulang emas yang meninggal telah mencapai 49 orang. Mereka ditemukan tertimpa longsoran tanah yang mereka gali sendiri.
Rusdin mengisahkan, awal kedatangannya di lokasi tambang ini, sehari dia bisa mengumpulkan serpihan emas minimal satu gram. “Kini, menggali tiga haripun sulit mendapatkan segitu,” katanya. Semakin banyaknya pendulang dalam lokasi ini turut mempengaruhi hasil yang diperoleh tiap pendulang. Situasi ini memicu penggunaan mesin untuk menyedot bahan material tanah.
Menurut data Dinas Pertambangan dan Energi kabupaten Bombana, sekitar 3000 buah mesin penyedot tengah beroperasi dalam dua lokasi pendulangan emas, di Tahi Ite dan Wumbubangka.
Selain menyebabkan turunnya jumlah pendapatan pendulang tradisional, penggunaan mesin-mesin penyedot tanah mendorong komentar penggiat lingkungan, Iskandar, koordinator LSM Sagori mengatakan aktivitas pendulang yang menggunakan mesin untuk menyedot material tanah menyebabkan perubahan bentang alam secara cepat dan tak terkendali. Badan sungai Tahi Ite dan Langkowaha misalnya, kini tak lagi mudah dikenali. Pasokan air bersih terhenti. ”inilah efek domino dari pertambangan emas bombana yang semrawut,” kata Iskandar.
Iskandar mengatakan, Pemerintah Kabupaten Bombana bertanggungjawab penuh atas kerusakan lingkungan itu. ”Semua izin dulang dikeluarkan oleh Pemerintah,” ujarnya.
Khawatir dengan efek negatif yang begitu cepat, Pemerintah Bombana mengambil langkah taktis : Menghentikan sementara semua aktivitas pertambangan emas di Bombana. ”Kami kewalahan mengaturnya,” kata Selamet Rigay, Asisten I Kabupten Bombana, yang juga merengkap sebagai Ketua Panitia Penertiban Pertambangan emas di Bombana.
Moratorium Tambang Emas Bombana demi Perbaikan yang lebih baik
Sejak tahun 2003 lalu, Bombana resmi menjadi sebuah kabupaten, pemekaran dari Kabupten induknya, Buton. Memiliki wilayah daratan seluas 284.536 hektar dengan perairan laut seluas 11.837,31 kilometer persegi. Secara geografis, terletak di bagian selatan garis khatulistiwa, memanjang dari Utara ke Selatan diantara 4 20 – 5 20 Lintang Selatan (sepanjang 180 km) dan membentang dari Barat ke Timur diantara 121 30 – 122 20 BT (sepanjang 154 km) provinsi Sulawesi Tengara (Sultra)
.
Emas Bombana ditemukan pada pertengahan bulan Mei 2008 lalu, dan mendorong maraknya penambang di daerah tersebut. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Bombana, mencatat sebanyak 81 ribu orang terdaftar sebagai pendulang emas di hamparan lahan seluas 500 hektar. Mereka bekerja pada kedalaman antara 150 meter sampai 200 meter. Itu belum terhitung pendulang liar lainnya. Dinas ini memprediksi sekitar 165 ribu ton deposit emas di Bombana.
Dalam kajian yang dilakukan Pemerintah Daerah, deposit emas di Bombana akan dikelola dengan dua cara. Pertama : Memberdayakan warga lokal melalui pertambangan rakyat. Dimana kandungan emas yang berada di dalam sungai dan sepanjang sungai Tahi Ite (20 kilometer), akan dibagi dalam 20 zona pendulangan, setiap zona berukuran 50 meter persegi. Kedua: untuk mengeksplorasi kandungan emas yang berada di perbukitan, pemerintah akan mengundang investor atau kuasa pertambangan. Potensi ini berada si sekitar desa Raurau. Untuk mengatur regulasi antar perusahaan tambang, Pemerintah Kabupaten mengeluarkan peraturan Bupati tentang zona maupun kontribusi perusahaan terhadap daerah.
Saat ini terdapat 12 Kuasa Pertambangan (KP) yang siap mengekstraksi kandungan emas di Bombana. Empat perusahaan diantaranya adalah PT. Panca Logam makmur, PT. Tiram Indonesia, PT. Sumber Alam Mega Karya, PT. Talenta, yang pelaporannya telah berjalan sejak Oktober 2008.
Tapi sejumlah penggiat lingkungan, diantaranya Wahana Lingkungan Hidup secara tegas menyatakan lokasi pertambangan Bombana telah mengalami kerusakan parah akibat pendulangan emas tahun 2008. Timbunan material di bantaran sungai Tahi Ite sudah menggunung, membentuk bukit bebatuan. Pertambangan yang telah berlangsung menghilangkan fungsi-fungsi perlindungan alami ekologi dan menyebabkan terjadinya perubahan besar tak hanya dari segi fisik lingkungan tapi juga kehilangan keanekaragaman sumber genetik dan vegetasi lahan. Perubahan rona lingkungan (geobiofisik dan kimia) itu juga menimbulkan pencemaran badan perairan, tanah dan udara.
Sejumlah kasus telah terjadi di Indonesia akibat penambangan yang dilakukan tanpa kajian mendalam dan upaya-upaya untuk merestorasi kembali lingkungan pasca tambang. Pertambangan di Teluk Buyat Minahasa-Sulawesi Utara, pencemaran sungai Ajakwa di Asmat Papua atau kehilangan mata pencaharian sebagian besar nelayan di desa Tambea, Kecamatan Pomalaa-Kolaka, semua ini adalah dampak dari pengelolaan tambang.
Di Bombana, dalam kurun waktu enam bulan sejak praktek pendulangan emas berlangsung, pemerintah daerah sudah dirugikan sekitar 1,8 trilyun rupiah (Kendari Pos, Selasa, 5/5/09). Selain itu, pengelolaan tambang emas di Bombana yang tidak dikelola dengan rapi, mengkontribusikan inflasi dan menyebabkan tingginya pasokan uang kartal yang tidak dimanfaatkan di daerah Sulawesi Tenggara namun justru di luar daerah ini.
Atas berbagai alasan tersebut, Pemerintah diharapkan mengambil inisiatif pengelolaan sumberdaya alam yang lebih arif, memikirkan generasi hari ini dan generasi mendatang. Bila perlu, sambil menunggu adanya kajian yang lebih baik, deposit tambang emas di Bombana lebih baik di moratorium dulu demi perbaikan yang lebih baik.
Non Pendulang Dipaksa Berdaya
Di tengah himpitan berbagai kebutuhan pokok akibat lonjakan harga yang tak terkendali, warga Rarowatu dan Wumbu Bangka mulai dari Satuan Pemukiman (SP) 2 hingga 9, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara (Sultra), justru panen rupiah dari Sungai Tahi Ite, ladang emas yang diitemukan tahun 2008 silam.
Bagi para pendulang emas, boleh saja berbangga hati sebab kandungan emas Bombana ini memiliki kadar 90-97 persen ditambah lagi usia pengolahannya bisa mencapai 50-60 tahun ke depan. Sayangnya, ketiban rejeki emas itu justru tak dirasakan oleh semua warga Bombana.
Sum misalnya, guru Sekolah Dasar Negeri 1 Kasipute ini mengatakan, mengeluarkan uang lebih banyak dari hari ke hari untuk membeli kebutuhan pokok. Laju harga tak terkendali.
”Kami tak bisa menjangkau harga itu,” keluhnya. Bagi Sum, hari-hari kemilau emas bagi pendulang merupakan hari gelap bagi dirinya.
Menurut Lawang Siagian, Direktur Bank Indonesia Sulawesi Tenggara, maraknya aktivitas pendulangan emas di Bombana memberi dampak sebaliknya, yakni memperlambat laju perekonomian lokal daerah ini. Uang tak beredar di Bombana, uang yang diperoleh dari pengolahan emas justru dibawa keluar daerah, sehingga tak ada investasi yang nyata untuk Bombana. Tingginya kebutuhan bahan pokok dan tak tersedianya kebutuhan tersebut menyebabkan kenaikan harga jauh di atas jangkauan warga yang tidak bekerja sebagai pendulang. Semua ini memicu laju inflasi.
“Ini fenomena out flow,dimana permintaan uang kartal yang berlangsung cepat dan dalam jumlah besar,” katanya. Inflasi, kata Lawang merupakan ‘penculik kesejahteraan warga” yang harus segera dikendalikan.

Sektor Lain Lumpuh
Ladang emas di Sungai Tahi Ite ditemukan Hamzah (45) pada tahun 2008 lalu. Pria ini merupakan warga Rarowatu, ia kaya pengalaman kerja di tambang emas Timika dan memiliki insting pada lokasi-lokasi yang mengandung emas. Penemuan Hamzah mendorong ribuan pendulang lain berbondong-bondong ke Bombana.
Emas seperti menghipnotis, para pekerja yang sebagian besar adalah petani dan nelayan meninggalkan dan bahkan menelantarkan pekerjaan dan mulai merubungi petak-petak tanah di Bombana. Situasi ini dengan cepat melahirkan lahan-lahan pertanian yang terbengkalai. Ratusan hektar sawah di SP 2 dan daerah Wumbu Bangka kini menjadi lahan tidur. Nelayan Kampung Baru di Kasipute kini enggan melaut. Harga jual emas lebih menggiurkan ketimbang manangkap ikan yang melelahkan dan tanpa kepastian.
Di bidang jasa, proyek-proyek fisik mengalami kemunduran jadwal. Para buruh bangunan lebih memilih mendulang emas. “Kontraktor proyek sekarang kebingungan, tak ada tenaga kerja!” kata Ashari.
Menurutnya, bila aktivitas tidak segera dihentikan, dipastikan pekerjaan proyek pemerintah di Bombana tahun anggaran 2009 ini tak akan selesai. Sejumlah kontraktor akan gulung tikar, karena harus mengembalikan keuangan negara yang sudah mereka cairkan sebagai termin pertama. “Bangkrut….kontraktor akan bangkrut,” serunya.
Peralihan minat kerja inilah yang mempengaruhi tingkat harga kebutuhan pokok di Bombana sangat tinggi. Suplai bahan pokok menjadi sedikit, sementara permintaan pasokan semakin bertambah seiring kedatangan gelombang pendulang yang dari hari ke hari makin padat.
Usman Rianse, Rektor Universitas Haluoleo, jauh hari sebelumnya sudah memberi peringatan kepada pemerintah daerah agar lebih hati-hati dalam menerapkan kebijakan terkait pengelolaan tambang emas di Bombana ini. Tambang akan mengganggu sektor kehidupan lainnya. Jika akses pertambangan rakyat di buka sebesar-besarnya, yang muncul adalah Sulawesi Tenggara akan krisis sumber daya alam. Semua kebutuhan pokok akan diimpor dari propinsi luar Sultra.
Berebut Menggali Rezeki Emas di Negeri Dewi Sri Bombana
Kedatangan puluhan ribu penambang emas benar-benar menyulap wajah lahan transmigran di Sentra Permukiman Delapan (SP 8). Kawasan padang ilalang yang dulu tak terjamah itu pun berubah menjadi sebuah kota baru. Pusat keramaian Bombana seolah pindah ke SP-8.
Dalamnya emas memang tak bisa diterka. Ada yang baru menggali 2 meter sudah mengumpulkan material emas. Tapi ada juga pendulang walau telah bercucuran keringat menggali sampai pada kedalaman 15 meter, tak jua menemui butiran emas itu.
Material diperoleh dari sebuah lubang berdiameter 1,5 meter. Kalau material di sebuah lubang galian dianggap habis, para penambang pindah ke lokasi baru. Lubang yang lama plus tanah sisa galian dibiarkan begitu saja. Pemda Bombana mencatat, hingga saat ini, jumlah lubang sisa galian mencapai ratusan ribu.
Emas kadang membutakan segalanya. Termasuk risiko nyawa. Mau hemat ongkos dan tenaga, ada penambang yang nekat membuat terowongan antarlubang untuk mencari material baru. Nah, saat membuat lubang tikus itulah, banyak penambang mati karena tanah longsor.
Dinas Kesehatan Kabupaten Bombana mencatat, sejak September hingga Desember 2008, sudah 49 penambang tewas. Mayoritas tertimbun tanah longsor. Sisanya jatuh, tertindas batu, dan kelalaian kerja.
Material yang mengandung emas biasanya dikumpulkan dalam karung. Setelah dianggap cukup, karung berisi material itu dibawa ke lokasi pendulangan. Dari proses pendulangan, akan dipisahkan serbuk atau buliran emas. Untuk mendulang, diperlukan air yang cukup sehingga 80 persen proses pendulangan dilakukan di kawasan aliran sungai.
Saking banyaknya para pendulang, aliran sungai di sana menjadi mampet. Bahkan badan sungai tak berbentuk lagi. Mirip kubangan ratusan kerbau. ”Para pendulang ambil jalan pintas menggali dasar atau pinggir sungai yang mengandung material emas,” kata Johari, pedagang asal Kolaka Utara. Parahnya, seluruh aktivitas keseharian penambang tersebut dilakukan di kubangan itu. Mulai membangun kemah, makan-minum, beristirahat, hingga buang air besar. Tak sedikit pendulang yang terkena diare karena kondisi kotor tersebut.
Itu belum termasuk proses pendulangan yang menggunakan air raksa alias merkuri pada mesin tromol untuk memudahkan pengikatan serbuk emas. Limbah beracun tersebut juga dibuang seenaknya di kubangan itu. Tak pelak para pendulang pun menjadi korban. Ada yang sekujur badannya mengalami iritasi dan gatal-gatal. Minimnya fasilitas kesehatan dalam lokasi pendulangan ini semakin memperparah dampak negatif yang dialami pendulang.
Saat ini, dalam lokasi,terdapat ribuan tenda yang dijadikan tempat bermukim sementara pera pendulang. Saking banyaknya tenda, kawasan SP-8 dan pinggiran Sungai Tahi Ite mirip perkampungan. Bahkan, khusus di SP-8 sebagai lokasi terpadat malah mirip sebuah kota. Di sana ada pasar yang menjajakan segala kebutuhan para penambang, mulai beras hingga linggis. Bahkan praktik lokalisasi liar pun tersedia.
Perputaran uang di SP-8 dan Desa Raurau bisa mencapai miliran rupiah per hari. Setiap pendulang rata-rata mendapatkan 1 gram emas per hari atau Rp 250 ribu. Jika di dua kawasan penambangan terdapat 60 ribu penambang, total uang kontan yang berputar bisa mencapai Rp 15 miliar per hari. Itu dengan asumsi seluruh pendulang menjual emasnya tidak di luar lokasi penambangan.
Tingginya perputaran uang dan jauhnya lokasi penambangan membuat harga kebutuhan sehari-hari menjadi mahal. Harga mi rebus plus telur, misalnya, bisa mencapai Rp 15.000 per porsi. Air dalam kemasan ukuran 1,5 liter yang biasanya Rp 3 ribu dijual dengan harga tiga kali lipat. Harga ayam bisa mencapai Rp 200 ribu per ekor.
Terbatasnya uang kontan sering memaksa penambang menggunakan emas sebagai mata uang baru. Khususnya ketika mereka terbentur oleh kebutuhan mendesak. Bahkan sudah menjadi rahasia umum, transaksi seks menggunakan tarif gram-graman emas.
“Kalau (PSK) yang parasnya lumayan, ada yang tarifnya sampai 2 gram. Yang biasa-biasa saja ya 1 gram sudah cukuplah,” ujar Johari, lantas tersenyum. Beberapa PSK, lanjutnya, pada siang hari juga terjun ke lokasi penambangan ikut mendulang emas.
Naskah : Abdul Saban

1 komentar:

  1. Kereen, ada ladan emas di bombana jadi kita gak susah lagi ladang sayur, hehehe

    BalasHapus